Selasa, 23 Oktober 2012


Cemburu, Siapa Takut? 


Cemburu. Seringkali kata ini dianggap sebagai kambing hitam terkoyaknya hubungan suami istri. Percayalah, tidak selamanya asumsi itu benar. Sebab cikal-bakal cinta sejati, berdirinya rumah-tangga yang kokoh, lahirnya juga dari sifat cemburu.

Cemburu itu bumbu cinta. Bumbu yang akan lebih menyedapkan romantika dalam bercinta. Rasulullah mencela seorang suami yang tidak mempunyai rasa cemburu. Atau sebaliknya isteri yang bukan pencemburu. Istilahnya dayyus.

Alkisah, Aisyah pernah cemburu lantaran Rosul berulang-ulang menyebut kebaikan Khadijah binti Khuwailid, isteri pertama beliau saw. "Rasulullah jika mengingat Khadijah, tak bosan-bosannya memuji dan beristighfar untuknya. Hingga pada suatu hari beliau menyebut-nyebutnya yang membuatku terbawa oleh rasa cemburu. Aku berkata, 'Allah telah menggantikan yang lanjut usia itu bagimu.' Aku saksikan beliau sangat marah. Aku sangat menyesal sambil berdoa dalam hati: Ya Allah, jika Engkau hilangkan kemarahan RasulMu terhadapku, aku tak akan lagi menyebutkan kejelekannya," kisah Aisyah.

Masih dari kisah yang sama, disebutkan Rosul marah mendengar ucapan istrinya yang masih belia dan rupawan itu, seraya berkata, "Apa yang kau katakan? Demi Allah, ia beriman ketika orang-orang mendustakan aku. Ia melindungi ketika orang-orang menolakku. Darinya aku dikaruniai anak-anak dan tidak aku dapatkan dari kalian."

Melihat reaksi suaminya, jelas Aisyah terpagut. Ia tak menyangka Rasul sekeras itu menanggapi perkataannya. Sebuah ekspresi kecintaan luar biasa Nabi pada Khadijah, yang kian membakar tungku kecemburuan Aisyah. Khadijah ra, umul mukminin berakhlaq agung, memang patut mendapat cinta Nabi. Tapi justru kecemburuan itu yang akhirnya memicu Aisyah berazam kuat untuk menapaki jejak sukses Khadijah merebut cinta agung Rosulullah saw.

Cemburu, selain ia sebagai indikator fenomena fitrah insaniyah, sikap itu memang sesuatu yang disunahkan Nabi. Dalam makna lebih luas, kelangsungan ekosistem fitrah alam pun sesungguhnya juga terkait erat dengan sifat cemburu.

Kita tidak bisa membayangkan, apa yang bakal terjadi pada dunia manusia bila mereka tak lagi memiliki rasa cemburu. Dalam etika pergaulan pasangan suami istri, jelas ia wajib ada. Suami yang tak pernah cemburu melihat istrinya keluyuran malam hari sendirian misalnya. Atau cuek melihat istrinya pindah dari pangkuan satu lelaki ke pangkuan lelaki lain. Jelas ini merupakan fenomena rusaknya fitrah seorang insan.

Hilangnya perasaan cemburu dari diri manusia tak lain lantaran, manusia terus-menerus memperturutkan hawa nafsunya. Alquran mengisyaratkan hal itu. "Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka kelak mereka akan menemui kesesatan." (QS 19:59)

Padahal turunan dari perilaku selalu memperturutkan hawa nafsu, adalah tercampaknya rasa malu dari dalam diri manusia. Itulah yang kini terjadi dalam pergaulan masyarakat Barat yang telah rusak. Ironinya, radiasi kerusakan itu telah merambah luas ke masyarakat Indonesia, khususnya kalangan muda-mudi. Kata Nabi, "Kalau engkau sudah tidak punya rasa malu, maka lakukan apa saja sesukamu."

Dalam tinjauan aqidah, malu dan iman merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisah. Sebuah hadist mengatakan, "Dari Imron bin Hushoin ra berkata: Rasulullah saw bersabda, malu itu tidak menimbulkan sesuatu kecuali kebaikan samata." (HR Bukhori-Muslim)

Di hadist lainnya diriwayatkan, "Abu Hurairoh ra berkata: Rasulullah saw bersabda, 'Iman itu lebih dari 70 atau lebih dari 60 cabang rantingnya, yang terutamanya adalah kalimat Laa Ilaha Illallah. Serendah-rendahnya yaitu menyingkirkan gangguan dari tengah jalan. Dan rasa malu adalah bagian dari iman.'"

Yang pasti, malu adalah batas pembeda yang tegas antara manusia dengan binatang. Wajar binatang tidak punya rasa malu, karena ia tidak dikaruniai Allah swt nalar dan perasaan. Tapi jangan lupa binatang masih punya rasa cemburu. Lihatlah betapa kuatnya cemburu seekor merpati jantan pada pasangannya. Ia akan marah bila pasangannya direbut rekannya. Kalau demikian, apa yang kita bisa katakan pada manusia yang tidak lagi memiliki rasa cemburu dan malu?

Dari sini kita tau kenapa Alquran begitu sarkas mengecam manusia-manusia yang telah menjadi budak nafsu. "Ulaika kal an'am, balhum adhol" - "Mereka bagaikan binatang ternak, bahkan lebih hina lagi". Bukankah di dunia ayam misalnya, tak pernah terjadi ayam jantan dewasa memperkosa anak ayam perempuan? Bukankah tak pernah terjadi perilaku homo atau lesbi dalam dunia kerbau atau keledai?

Jika demikian kita boleh tarik satu konklusi, cemburu-malu-iman, pada hakikatnya berada pada satu garis linear. Sesungguhnyalah ketiga unsur itu menjadi satu senyawa yang menimbulkan gairah hidup manusia untuk memelihara kehormatan dan meningkatkan amaliahnya.

Kecemburuan Aisyah pun akhirnya berujung pada tekad kuatnya untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas amalnya. Sebab Aisyah menyadari bahwa hanya dengan modal cantik jasmani semata, ia tak mungkin mampu merebut cinta agung Rasulullah. Ia harus mempercantik bathinnya, mempercantik akhlaknya, mempercantik amalnya, dan mempercantik lisannya. Ini sebuah kecemburuan positif dan konstruktif.

Seharusnyalah para istri maupun suami harus cemburu ketika ia tak mendapatkan perhatian dan cinta dari pasangannya. Kalau terjadi kasus demikian, jangan dulu kalap dan menyalahkan pasangannya. Cobalah lakukan evaluasi dan kontemplasi. Jangan-jangan pemicunya adalah, lantaran keadaan masing-masing dalam kondisi stagnan. Tidak pernah ada peningkatan kualitas fisik, kualitas amal, apalagi kualitas akhlak dalam berumah tangga (misalnya berkomunikasi secara mesra) pada masing-masing pihak.

Adalah keliru cemburu dibalas oleh dendam, yakni dengan cara mempertontonkan perilaku urakan dan tercela. Misalnya marah-marah lalu menggaet perempuan/laki-laki lain dan mempertontonkannya secara demonstratif di depan pasangannya. Na'udzubillah min dzalik. Inilah yang terjadi pada dunia Barat saat ini, yang telah penuh sesak dengan kasus-kasus perselingkuhan. Berapa ratus bahkan ribu rumah-tangga yang broken home. Kemudian dari situ lahir generasi-generasi yang secara turun temurun mengukuhkan tradisi bejad: seks bebas.

Cemburu itu bumbu cinta. Karena itu jadikan dia sebagai penyedap sekaligus pemacu semangat mengubah diri ke arah positif dan konstruktif. Tapi hati-hati cemburu bisa jadi petaka, kalau masing-masing pihak tidak pernah merujukkan persoalannya pada rambu-rambu iman dan akhlaq.



Bunga Untuk Ibu


Ibu pernah memintaku membersihkan lantai sesaat setelah aku menumpahkan bubur saat sarapan pagi. Tapi, bukan sapu atau kain lap pel yang kuambil ke belakang, karena aku malah berlari keluar melalaui pintu belakang untuk menyusul teman-teman bermain. Hal yang hampir sama juga kulakukan, saat ibu berharap aku menyapu halaman bekas aku dan teman-teman bermain dan mengotori halaman dengan sobekan kertas. Meski beberapa teman melirikkan matanya agar aku segera menuruti ibu, tapi yang kulakukan justru tak menggubris perintahnya dan selekas mungkin mengajak teman-teman bermain di tempat lain.
Pernah satu kali, ibu memanggilku saat aku belajar. Dengan alasan "sedang belajar" aku tak mengindahkan panggilannya, meski entah sudah hitungan keberapa namaku disebutnya. Dan jika, dalam kondisi tak sabar setelah berkali-kali aku tak juga menyahut, ibu menghampiri ke kamarku, segera aku berpura-pura tertidur dengan buku yang masih dalam dekapan. Itu kulakukan, karena aku malas keluar rumah untuk membelikan barang belanjaan ibu di warung depan gang yang hanya berjarak tidak lebih 20 meter.
Diwaktu lain, ibu berpesan agar aku segera pulang setelah pulang sekolah. Namun seperti biasa, aku selalu mampir ke tempat-tempat biasa aku bermain, dan mengatakan kepada ibu bahwa terlalu banyak aktifitas di sekolah yang harus aku ikuti, demi memperkaya pengalaman dan ketrampilan. Sesekali, aku juga mengelabui ibu dengan tuntutan uang ini-itu dari sekolah yang wajib dibayar selain uang SPP. Kupikir, mungkin ibuku bodoh sehingga selalu mempercayai setiap permintaan uang tersebut yang sesungguhnya selalu kugunakan untuk mentraktir teman-temanku, sekedar untuk menunjukkan kelas sosial dan 'sogokan' agar aku bisa diterima oleh teman-teman. Meski setelah itu kuketahui, bahwa tidak jarang ibu berhutang untuk menutupi semua 'biaya' itu berharap agar aku bisa menjadi anak yang cerdas, trampil dan bisa diandalkan, aku masih tetap tak menyesal.
Disuatu hari minggu, saat aku tak sekolah, dan tak ada kegiatan apapun diluar rumah. Ibu memintaku mengantarkannya ke pasar karena hari itu akan ada acara keluarga di rumah, yang karena itu ibu harus belanja lebih banyak dari biasanya. Segera otakku berputar mencari-cari alasan agar aku bisa "bebas" dari tanggungjawab itu. Akhirnya, kuberbohong kepada ibu dengan mengatakan bahwa di sekolah ada kegiatan ekstrakurikuler yang "wajib" diikuti oleh semua siswa. Niat berangkat ke sekolah, aku justru nongkrong di Mall, bertemu dengan teman-teman sepermainanku yang -bisa jadi- kebanyakan juga lari dari tanggungjawab membantu orang tua di hari libur.
Kemarin, ibu berharap aku mau membantunya melakukan beberapa pekerjaan rumah yang lumayan berat karena ibu saat itu tak sanggup melakukan semuanya. Ibuku tengah sakit. Tapi aku malah tak mempedulikannya, karena kupikir tak semestinya aku melakukan semua tugas rumah tangga itu. Akhirnya, dalam keadaan sakit, dengan nafas yang tersengal, ibu sendiri yang mengerjakannya, sementara aku tetap asik dengan urusan dan mainanku.
Hari ini, ada sekuntum bunga persembahan dariku yang pasti tak ada harganya dari semua pengorbanan ibu. Tak membalas semua cintanya, tak membayar jerihnya, tak menghilangkan semua luka dan kecewanya, tak meringankan bebannya, tak menghentikan tangisnya, tak membasuh setitikpun peluhnya, bahkan tak menyembuhkan sakitnya, apalagi mengembalikan ibu kepadaku. Karena ibu, yang penuh cinta dan kasih terhadap anaknya ini, kini terbujur lurus dihadapanku. Kupikir, karena aku tak mencintainya dengan segala perilaku burukku terhadap ibu, Allah lebih mencintainya dan mengambilnya dariku. Maafkan aku ibu. Kuharap ibu tahu, bunga cintaku tak pernah luruh. Wallahu 'a'lam bishshowaab

Minggu, 21 Oktober 2012

Ada Apa Dengan Kita?: Bukan Sekedar Kepala

Ada Apa Dengan Kita?: Bukan Sekedar Kepala: Entah sekedar pobia, trend atau memang keinginan untuk tampil seutuhnya sebagai muslimah, menunjukkan identitas diri sebenarnya. Kerudung s...

Bunga Istimewa Hanya Untuk Yang Istimewa


Bunga adalah simbol kesegaran, keceriaan dan kebahagiaan. Bisa jadi ada makna yang lebih dalam dari penamaan Rasulullah atas putri tercintanya, Fatimah Az Zahra. Az Zahra sendiri berarti “bunga”. Tidaklah mengherankan jika Fatimah menjadi anak yang paling disayang dibanding saudara-saudara Fatimah lainnya. Hal itu terlihat dari ungkapan Rasulullah, “Siapa yang membuatnya sedih, berarti juga membuat aku sedih, dan barang siapa menyenangkannya, berarti menyenangkanku pula”.
“Bunga” Fatimah yang tumbuh dan berkembang dalam binaan langsung dari ayahanda Rasul yang baik, lemah lembut dan terpuji menjadikannya seorang gadis yang juga penuh kelembutan, berwibawa, mencintai kebaikan plus akhlak terpuji meneladani sang ayah. Maka tidaklah aneh, bunga yang dinisbatkan Rasul menjadi wanita penghulu surga itu menjadi primadona di kalangan para sahabat Rasulullah.
Tercatat, beberapa sahabat utama seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab pernah mencoba melamar Fatimah. Hanya saja, sayangnya dengan halus Rasulullah menolak lamaran para sahabat itu. Hingga akhirnya datanglah Ali bin Abi Thalib untuk meminang Fatimah. “Aku mendatangi Rasulullah untuk meminang putri beliau, yaitu Fatimah. Aku berkata: Demi Allah aku tidak memiliki apa-apa, namun aku ingat kebaikan Rasulullah, maka aku beranikan diri untuk meminangnya”. Akhirnya, Rasulullah pun menerima pinangan Ali meski hanya mempersembahkan baju besi al khuthaimah (yang juga merupakan pemberian Rasul).
Fatimah adalah bunga yang terpelihara, tidak tanggung-tanggung yang mendidik, membina, memeliharanya adalah manusia agung nan mulia Muhammad Rasul Allah, yang memiliki segala keterpujian. Bunga yang indah dengan segala keistimewaannya, harus dipelihara dan dijaga oleh orang yang istimewa dan memiliki berbagai kelebihan pula, dalam hal ini Ali bin Abi Thalib. Siapa yang meragukan kapasitas Abu Bakar dan Umar bin Khattab, yang keduanya kemudian berturut-turut menjadi khalifah meneruskan perjuangan kaum muslimin menggantikan Rasul. Lalu kenapa ayahanda sang bunga itu menolaknya?
Pertanyaan selanjutnya, kenapa Ali yang hanya bermodalkan baju besi (yang juga pemberian Rasul) menjadi pilihan Rasul untuk mendampingi Fatimah? Meski memang Rasulullah yang paling tahu alasan itu (termasuk juga alasan menolak pinangan dua sahabat yang juga istimewa), namun kita bisa melihat sisi kelebihan dari Ali bin Abi Thalib, pemuda pemberani ini. Ali adalah lelaki istimewa, masuk dalam assabiquunal awwaluun (golongan pertama yang masuk Islam) dengan usia termuda. Soal keberanian, jangan pernah menyangsikan lelaki satu ini. Perang badar yang diikuti oleh seluruh manusia pemberani didikan Rasul, terselip satu lelaki muda yang dengan gagahnya maju ke depan ketika seorang pemuka dan ahli perang kaum kafir menantang untuk berduel. Meski awalnya dilecehkan karena dianggap masih kecil, namun Ali dengan kehebatannya mampu mengalahkan musuh duelnya itu. Tidak sampai disitu, yang membuat Rasulullah tak bisa melupakannya adalah jasa besar dan keberanian Ali menggantikan Rasul tidur di pembaringannya saat Rasulullah ditemani Abu Bakar menyelinap ke luar saat hijrah. Padahal resikonya adalah mati terpenggal oleh balatentara kafir yang telah mengepungnya.
Tentu masih banyak dan tidak akan cukup satu halaman untuk mencatat kelebihan Ali yang menjadikannya begitu istimewa. Satu yang bisa kita tangkap secara jelas, bahwa wanita istimewa memang dipersiapkan untuk lelaki istimewa. Seperti halnya, “bunga” Fatimah yang hanya Ali bin Abi Thalib yang diizinkan Rasulullah untuk memetiknya. Oleh karenanya, jangan pernah berharap akan datangnya seseorang istimewa jika tak pernah menjadikan diri ini istimewa. Wallahu a’lam bishshowaab

Ada Apa Dengan Kita?: Bukan Sekedar Kepala

Ada Apa Dengan Kita?: Bukan Sekedar Kepala: Entah sekedar pobia, trend atau memang keinginan untuk tampil seutuhnya sebagai muslimah, menunjukkan identitas diri sebenarnya. Kerudung s...

Bukan Sekedar Kepala


Entah sekedar pobia, trend atau memang keinginan untuk tampil seutuhnya sebagai muslimah, menunjukkan identitas diri sebenarnya. Kerudung sudah merebak. Berkerudung tidak lagi dilakukan oleh kaum ibu disaat pengajian, tapi juga oleh kalangan remaja kita, meskipun hanya sekedar menutup kepala. Tak ada lagi zamannya ‘sungkan’ berkerudung. Dimana-mana sekeliling kita jumpai muslimah berkerudung, dengan beraneka model lilitan penutup kepala. “Mode!” itu katanya. Ada yang mengikuti gaya artis A, atau artis B dalam menutup kepalanya. Bahkan tak jarang ada kerudung yang bernamakan artis tersebut. “Modis!” alasannya.
Kita sering terjebak dengan istilah jilbab itu sendiri. Apa sih sebenarnya pengertian jilbab itu? Menyusuri kata jilbab yang tentu saja berasal dari bahasa Arab, yang jamaknya disebut “Jalaabiib” berarti pakaian yang lapang/luas. Jadi jilbab itu sendiri dapat diartikan sebagai pakaian yang lapang dan dapat menutup aurat wanita, kecuali muka dan kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan saja yang ditampakkan.
Sedangkan kerudung yang dalam bahasa Arabnya disebut khimaar, jamaknya khumur, berarti tutup/tudung yang menutup kepala, leher, sampai dada wanita.
Jadi jelaslah sudah perbedaan antara keduanya. Keduanya mempunyai kekuatan hukum yang kuat langsung dari Allah yaitu wajib. Sebagai suatu keharusan yang pasti atau mutlak bagi wanita dewasa yang mukminat atau muslimat. Al Ahzab (59) menegaskan “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan para wantia yang beriman, supaya mereka menutup tubuhnya dengan Jilbab, yang demikian itu supaya mereka lebih patut dikenal (jilbab itu ciri khas wanita mukminat), maka mereka pun tidak diganggu. Dan Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
An-Nur (31) menjelaskan “Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman supaya mereka menahan penglihatannya, dan memelihara kehormatannya, dan tidak memperlihatkan perhiasannya (kecantikannya) kecuali yang nyata kelihatan (muka dan kedua telapak tangan hingga pergelangannya). Maka julurkanlah Kerudung-kerudung mereka hingga kedadanya. Dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya/kecantikannya; kecuali kepada suami mereka, atau bapak mereka, atau bapak suami mereka, atau anak-anak mereka, atau anak-anak suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka, atau para wanita mereka (yang muslimat), atau hamba sahaya kepunyaan mereka, atau laki-laki yang menjalankan kewajibannya (umpama pelayan) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mempunyai pengertian tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan (melangkahkan) kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Kedua ayat di atas merupakan seruan Allah SWT yang mesti kita jalankan. Jelas sudah mana batasan-batasan yang mesti kita jadikan protect ketat untuk muslimah sendiri. Rasulullah mengatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Turmidzi dari Ibnu Mas’ud bahwa “Perempuan itu adalah aurat, maka apabila ia keluar dari rumahnya syetan pun berdiri tegak (dirangsang olehnya).”
Saudariku muslimah, mari kita melangkah bersama menuju Islam yang kaffah, masuk dalam Islam secara keseluruhan. Bukan sekedar kepala! 

Akhlak Ialah Bunga Diri

Akhlak Ialah Bunga Diri

Dalam sebuah syairnya Bilal mengatakan, Akhlak ialah bunga diri, Indah dilihat oleh mata, Senang dirasa oleh hati, Setiap orang akan jatuh hati….

Rasulullah mengatakan, “Orang–orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya diantara kamu” (HR Tirmizi dari Abu Hurairah)

Kemajuan zaman dan modernisasi diselimuti kekosongan jiwa, kekerasan menjadi keterampilan. Lagu kita adalah kebohongan dan penindasan, sehingga kemesraan dan kebahagiaan hidup menjadi benda mahal yang sulit didapatkan.

Dalam buku membentuk karakter muslim, Anis Matta mengatakan, “Kita hidup dalam dunia yang gelap, dimana setiap orang meraba-raba namun tidak menemukan denyut nurani, tidak merasakan sentuhan kasih, tidak melihat sorot mata persahabatan yang tulus.
Dunia kita telah berubah menjadi hutan belantara, dimana bahasa global kita adalah kekuatan besi dan baja, bahasa bisnis kita adalah persaingan, bahasa politik kita adalah penipuan, bahasa sosial kita adalah pembunuhan, dan bahasa jiwa kita adalah kesepian dan keterasingan.

Kita adalah masyarakat sipil yang berwatak militer. Kita adalah masyarakat peradaban yang berbudaya primitif. Kita adalah manusia-manusia sepi di tengah keramaian. Kita adalah manusia-manusia merana ditengah kemelimpahan. Jika sikap mental tersebut telah tertanam kuat dalam hidup kita, berarti akhlak kita sedang dalam kondisi sekarat, karena akhlak, masih menurut Anis matta adalah nilai-nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan-tindakan dan prilaku-prilaku yang bersifat tetap natural dan refleks.

Sakitnya fisik hanya kita yang akan merasakan, namun jika akhlak yang sakit, tidak saja diri, tapi masyarakat akan ikut merasakan dampak negatifnya. Jika kita hubungkan, maka tidak perlu heran krisis yang berkepanjangan ini bermula dari krisis akhlak yang melanda hampir sebagaian besar kita, yang telah lupa akan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang bersumber dari Ilahi.

Betapa indahnya senyum tulus tulus, dan kasih sayang. Betapa bahagianya jika sikap ramah dan tolong menolong menjadi kebiasaan. Hidup penuh makna dan berarti hanya akan kita temui jika kita dapat mensinergikan kekuatan kebaikan yang ada pada diri kita, bukan justru mengembangkan potensi buruk yang senantiasa dipelihara oleh nafsu syeitan yang mempunyai singasana dalam diri kita.

Akhlak terpuji, merupakan salah satu kunci keberhasilan, namun sayang, kenapa sulit sekali diri ini  untuk meraihnya, padahal ia adalah indikator sempurnanya iman kita, Akhlak ialah bunga diri Wallahu a'lam bishshowaab